Clock
- Back to Home »
- ISLAMI »
- Membongkar Rekayasa Sinterklas
Posted by : Unknown
Selasa, 18 Februari 2014
DI TIAP perayaan Natal, bocah
Kristiani-dan juga anak-anak umat Muslim- kerap didoktrin pada
kemunculan seorang tokoh tambun berpakaian serba merah serta bertopi
jambul yang bernama Sinterklas atau Santa Claus.
Manusia berjenggot tebal dan dipandu
oleh segerombolan rusa ini pun digambarkan memiliki sifat yang ramah. Ia
datang ke tiap rumah untuk memberi hadiah menarik bagi anak-anak.
Doktrin ini pun ikut menjalar kepada
anak-anak muslim. Tayangan televisi seperti kartun dan drama kerap
dihadirkan untuk mendekatkan anak-anak kita pada ajaran Kristiani. Maka
tak heran dalam film yang sarat dengan kontroversi itu, seorang muslim
pun didaulat menjadi Santa Claus demi menyenangkan seorang bocah
Kristen.
Bahkan suatu ketika pernah seorang
muslim memiliki pengalaman saat menjadi therapis anak-anak, dia pernah
dikejutkan ucapan seorang anak muslim yang bercita-cita menjadi sang
Santa. Ya hanya karena Santa Claus sudah seperti Tuhan yang bisa
menghadirkan apapun yang diminta. Naudzubillah min dzalik. Tak sadar ada upaya pemurtadan halus dibalik misi melambungkan tokoh Kristen ini lewat tayangan-tayangan televisi.
Tentunya hal ini menjadi marak saat
perayaan Natal. Banyak kita saksikan bahwa di sudut-sudut hotel,
gerai-gerai food court, mal-mal, hingga pusat-pusat bisnis memasang
‘pohon terang’ yang dihiasi atribut-atribut khas natal seperti patung
dan gambar Santa Claus. Bahkan ada sebagian department store yang mewajibkan pramuniaganya meski dia seorang muslim untuk mengenakan atribut-atribut Santa Claus. Astaghfirullah al adzim.
Padahal jika kita teliti lebih jauh,
Tokoh Santa Claus tidak lain adalah sebuah mitos yang sepenuhnya
rekayasa. Ada beberapa mitos berhubungan dengan asal-usul Santa Claus.
Siapakah Sinterklas?
Santa Claus atau juga dikenal sebagai
Sinterklas, Santo Nikolas, Santo Nick, Bapak Natal, Kris Kringle, Santy,
atau Santa adalah tokoh dalam berbagai budaya Kristen yang menceritakan
tentang seorang Kardinal yang hidup di Kota Patara pada abad tiga
masehi.
Nama aselinya adalah Nikolas yang merupakan anak tunggal dari keluarga Kristen yang berkecukupan bernama Epiphanius (Ἐπιφάνιος) dan Johanna (Ἰωάννα) atau Theophanes (Θεοφάνης) dan Nonna (Νόννα) menurut versi lain.
Untuk menjaring orang-orang kepada
ajaran Kritsen, Nikolas pun digambarkan sebagai figur yang suka
membagi-bagikan hadiah untuk anak-anak yang baik, serta menghukum
anak-anak jahat dengan kekuatan sihir. Santa Nikolas gemar mengendarai
kereta yang ditarik oleh rusa-rusa kutub. Jadilah penggambaran ini marak
di berbagai belahan dunia ketika momen Hari Natal tiba. Lagi-lagi,
mereka memiliki misi agar ajaran Kristen bisa hadir menembus sekat-sekat
masyarakat.
Di Jerman, gambaran tentang Santa Claus
juga hadir dalam cerita rakyat. Dimana ada kisah tentang Dewa
Odin (Wodan), yang setiap tahun (pada perayaan Yule) melakukan pesta
perburuan yang dibimbing oleh dewa-dewa dan para prajurit yang mati
dalam medan tempur. Anak-anak lalu menaruh sepatunya dengan wortel,
jerami atau gula, di dekat cerobong asap sebagai santapan kuda Dewa
Odin. Sebagai tanda terimakasih, Odin akan memberi hadiah bagi anak-anak
berupa manisan atau permen.
Praktek ini sendiri hingga kini masih
berlangsung di Jerman, Belgia dan Belanda. Kisah ini diadopsi rakyat
Eropa Barat itu setelah menyerapnya dari ajaran Kristen. Tidak hanya
berlangsung saat perayaan natal, bahkan anak-anak Kristen itu masih
menaruh jerami mengisi sepatu di cerobong asap setiap malam musim
dingin, dan berharap Santo Nikolas memberi mereka hadiah permen dan
hadiah-hadiah.
Selain di Eropa, kisah ini juga muncul
di benua Amerika. Di Amerika Serikat, praktek ini muncul melalui koloni
Belanda di New Asterdam yang datang ke negeri Paman Sam setelah
menyerang Inggris pada abad 17.
Tidak jauh berbeda dengan dataran Eropa,
anak-anak Amerika juga menggantung kaus kaki atau kaus kaki natalnya di
dekat cerobong asap. Mereka berharap Sinterklas datang menghampiri kaus
kaki mereka dan menaruh mainan dan makanan kesukaan anak-anak.
Cerita lainnya muncul dari suku
Indo-Jerman dimana terdapat cerita pertarungan antara orang suci bernama
Santo Nikolas dan setan yang berwujud Krampus atau Troll. Hal ini
dapat dibuktikan dalam perayaan Santo Nikolas di Austria Selatan dan
Italia Timur. Dalam perayaan tersebut, para laki-laki muda hadir
menyemarakkan acara dengan memakai seragam Krampus dan Santo Nikolas.
Kisah kepahlawanan Kristen Santo Nikolas
dan Troll ini bermula dari cerita rakyat dimana sebuah daratan diserang
oleh seorang monster. Pada malam hari, monster melata itu masuk ke
cerobong asap dan membunuh anak-anak. Anak-anak tersebut dibunuh dengan
cara mengeluarkan isi perut mereka atau menyimpan mereka sebagai bahan
santapan. Orang suci (Santo Nikolas) lalu berusaha menaklukan sang
setan. Dia mencari sang setan dan menipunya dengan borgol yang
diberkati. Menariknya, dalam beberapa versi borgol yang dipakai Santa
adalah borgol yang sama untuk memenjarakan Yesus.
Setan tersebut kemudian terperangkap dan
terpaksa mengikuti perintah orang suci. Orang Suci itu menyuruhnya
untuk pergi ke setiap rumah dan membuat perubahan, dengan memberikan
hadiah kepada anak-anak. Orang suci itu juga meminta untuk melakukan hal
ini setiap tahun, atau sang setan boleh memilih untuk dikembalikan ke
Neraka.
Cerita tentang Santa yang baik hati pun
makin melegenda. Ada pula yang meyakini bahwa Santa Claus selalu
ditemani seorang budak negro bernama Swarte Piet (Piet hitam). Mereka
hadir setiap perayaan natal dengan mengendarai kuda terbang yang akan
mendarat di atap-atap rumah anak yang baik guna membagi-bagi hadiah
lewat cerobong asap.
Berbeda dengan Santa yang digambarkan
penuh kebaikan, Swarte Piet justru digambarkan sebagai individu
menyeramkan. Swarte Piet kerap memukul anak nakal dengan tongkat atau
memasukan mereka ke dalam karung dan membawa mereka ke Spanyol.
Sejatinya, ilustrasi tersebut
menggambarkan diskriminasi rasial, ketika Santa Claus dilukiskan sebagai
seorang kulit putih yang baik budi, sedang Swarte Piet dicerminkan
sebagai seorang negro kejam yang suka menyiksa anak-anak nakal.
Pemahaman orang awam coba digiring bahwa bangsa berkulit hitam adalah
kelompok jahat, kejam, dan penuh kebencian. Sedangkan bangsa berkulit
putih penuh dengan kelembutan, rasa kemanusiaan, dan jauh dari perilaku
jahat. Padahal faktanya, hal itu masih bisa diperdebatkan.
Pada tahun 1969, Gereja Roma Katholik
yang dipimpin Paus Paulus VI menanggalkan perayaan Santa Nicholas dari
kalender resmi gereja. Banyak pendeta dan aktivis Katholik Kristen yang
mengkritik esensi perayaan natal yang telah tercemari oleh unsur
komersial yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berkuasa. Dari
produk makanan, minuman, hingga pakaian banyak mengusung tema Santa
Claus. Perayaan natal akhirnya lebih mengkultuskan mitos Santa Claus
dibanding sosok Yesus itu sendiri. Namun, alih-alih Santa Claus adalah
mitos, sejatinya perayaan natal tanggal 25 Desember pun juga sarat
pengaruh legenda pagan dan kisah mitos. Pihak Kristen sendiri tidak
benar-benar serius melarang Santa Claus, karena pada realitanya mereka
sendiri banyak diuntungkan dengan kehadiran mitos ini.
Paganisme Yunani-Romawi telah diadopsi
oleh kaisar Constantine dalam menyebarkan agama Kristen. Salah satunya
dengan mengukuhkan 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus sang
penebus dosa. Sesungguhnya tanggal tersebut merupakan peringatan
terhadap Dewa Matahari Sol Invictus. Ketetapan ini dilegalkan kaisar
Constantine pada 313 M dalam sebuah dekrit Edict Of Milan.
Selanjutnya, Constantine menetapkan hari matahari (sun day) sebagai hari libur kerajaan. Tak beda dengan kaum Yahudi, umat Kristiani sebenarnya menetapkan hari Sabtu (Sabath)
sebagai hari suci. Kalangan Kristen Ortodoks sampai saat ini masih
memperingati hari kelahiran Al Masih pada tanggal 6 januari. Namun
sebagai penghormatan kepada Sol Invictus, maka perayaan natal sang juru
selamat, diubah pada tanggal 25 Desember.
PADA gilirannya, Natal telah didominasi
oleh tradisi kaum kafir pagan. Terlebih muncul tokoh fiktif Santa Claus
yang sejatinya adalah rekayasa Barat Kristen Liberal dengan tujuan
membumikan ajaran kristiani. Tidak hanya politik, ekonomi, sosial
budaya, bahkan ranah pemikiran sampai pada cara beriman serta beribadah
kepada Tuhan telah menggurita.
Encyclopedia Britannica, volume 19 halaman 648-649, edisi kesebelas, mengatakan:
“St. Nicholas, bishop of Myra, a saint honored by the Greeks and Latins on the 6th of December… A legend of his surreptitious bestowal of dowries on the three daughters of an impoverished citizen…is said to have originated the old custom of giving presents in secret on the Eve of St. Nicholas [Dec. 6], subsequently transferred to Christmas day. Hence the association of Christmas with Santa Claus…”St. Nicholas, adalah seorang pastur di Myra yang amat diagung-agungkan oleh orang-orang Yunani dan Latin setiap tanggal 6 Desember… Legenda ini berawal dari kebiasaannya yang suka memberikan hadiah secara sembunyi-sembunyi kepada tiga anak wanita miskin… untuk melestarikan kebiasaan lama dengan memberikan hadiah secara tersembunyi itu digabungkan ke dalam malam Natal. Akhirnya terciptalah kaitan antara hari Natal dan Santa Claus.
Herbert W. Armstrong (1892-1986), Pastur
Worldwide Church of God dan pendiri Ambassador College membongkar
kebohongan tentang Natal dalam buku The Plain Truth About Christmas. Tulisan tentang Sinterklas ditulis secara khusus dalam sub bab Yes, And Even Santa Clause. Dia menulis,
“And so when we examine the facts, we are astonished to learn that the practices of observing Christmas is not, after all, a true Christian practice, but a pagan custom – one of the ways of Babylon our people have fallen into.”Dari bukti-bukti nyata yang telah kita ungkap tadi dapatlah diambil kesimpulan, bahwa perayaan Natal atau Christmas itu bukanlah ajaran Kristen yang sebenarnya, melainkan kebiasaan para penyembah berhala (Paganis). Ia warisan dari kepercayaan kuno Babilonia ribuan tahun yang lampau.
Kristen Liberal ingin membentuk opini
lewat penciptaan tokoh Santa Calaus bahwa Barat identik dengan
kedermawanan, suka membagi-bagi hadiah dan menolong kaum tertindas.
Lantaran bangunan akidah Kristen telah
lapuk, tak heran bila Kristen masih mempercayai mitologi. Jauh berbeda
dengan pandangan Islam bahwa lewat dakwah Islam, mausia akan dibebaskan
dari unsur magis, animisme, mitologi serta tradisi yang melenceng dari
aqidah. Ajaran Islam juga membebaskan akal dari keraguan, dugaan,
argumen kosong menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas
spiritual, akal dan materi. Islam tidak menyembah patung, berhala, arca
yang bisa dihancurkan kapanpun sesuai kehendak manusia.
Pada perkembangannya, momentum Santa
Claus pun juga dijadikan alat ampuh oleh para misionaris untuk menarik
minat seorang anak non Nasrani pada doktrin Santa. Bahwa mereka
mengkritik hegemoni Santa Claus dalan teologi, memang iya, namun tidak
dapat dipungkiri gereja pun ketiban untung lewat mitologi Santa Claus.
Sebab Tokoh Santa yang ‘ramah’ memang sejalan dengan misi penyebaran
ajaran Kristen yang kerap memuluskan tujuannya lewat aksi amal.
Paus sendiri tidak yakin akan kebenaran
Santa Claus karena pada kenyataannya lebih banyak dongeng atau khayalan
yang dibuat mengenai tokoh ini. Akhirnya, pada 1970 Vatikan menghapus
dan mencoret nama Sinterklas dari daftar orang-orang suci, tetapi karena
banyaknya protes yang berdatangan, akhirnya Vatikan memberikan
kelonggaran dan kebebasan untuk memilih apakah Santa Claus termasuk
orang suci atau bukan diserahkan kepada diri masing-masing, tetapi
secara resmi Santa Claus bukan termasuk orang yang dianggap suci lagi.
Jadi jika orang Kristen saja ragu dengan Santa Claus, kenapa umat Islam
berbondong-bondong menghiasai diri dengan seragam tokoh palus ini?
Sungguh sebuah bentuk toleransi kebablasan dan salah arah.
Sumber: islampos.com